Menurut Solichin, status Maxsi Nelson Ahoren selaku Ketua MRP ditunjuk mewakili masyarakat masuk sebagai Pansel itu diputuskan melalui rapat pleno kedua, karena hasil pleno pertama dan masyarakat adat memilih Obeth Ayok.
“Tetapi bapak Obeth Ayok yang dipilih masyarakat untuk duduk dalam panitia seleksi mengundurkan diri dengan mengirim surat kepada MRP sebagai lembaga perwakilan masyarakat adat,”ujar Solichin kepada wartawan, Rabu (15/01/2020).
Setelah MRP menerima surat pengunduran diri Obeth Ayok dari Pansel, lanjut Solichin, MRP melaksanakan rapat pleno kedua untuk mencari satu orang untuk mewakili masyarakat adat.
“Dengan waktu yang sempit ini, MRP harus mencari satu orang untuk mewakili masyarakat adat. Jadi kendala MRP adalah waktu yang sangat sempit,”ungkapnya.
Solichin menjelaskan, MRP tidak memiliki anggaran untuk mengkonsolidasi masyarakat atau menggelar kegiatan besar yang mengundang semua lembaga-lembaga masyarakat adat dari 13 kabupaten dan kota untuk memilih perwakilan masyarakat adat dalam Pansel.
“Ini berbeda dengan hak yang diberikan kepada DPR untuk menunjuk perwakilan dari perguruan tinggi. Kan cuma ada beberapa perguruan tinggi di Papua Barat diantaranya Unipa dan STIH. Maka hal itu berbeda dengan posisi yang dialami oleh MRP,”tutur Solichin.
Maka penunjukan Maxsi Nelson Ahoren sebagai anak adat di wilayah III Doberay ini juga merupakan langkah tepat yang diambil oleh perwakilan masyarakat adat di MRP.
“Penunjukan Maxsi Ahoren oleh perwakilan masyarakat adat di lembaga MRP ini sudah mempertimbangkan situasi politik Papua dan Kamtibmas. Kemudian MRP mengambil kesimpulan bahwa tidak ada jalan lain, selain MRP yang merupakan lembaga representasi kultur menaruh orangnya di dalam sebagai representase masyarakat adat,”jelas dia.
Sebut Solichin, MRP tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan proses pemilihan tersebut dan dari hasil pleno perwakilan masyarakat adat di MRP, telah menunjuk Maxsi Nelson Ahoren yang jabatannya adalah Ketua MRP.
Dia menyebut, surat pertama Gubernur Papua Barat dengan Nomor 816/2060/GPB/2019 Tanggal 20 November 2019 yang meminta MRP untuk meninjau kembali penunjukan Maxsi Neslon Ahoren telah direspon MRP dengan menyurati Gubernur Papua Barat sesuai Nomor 052/50/MRP-PB/IX/2019 tanggal 20 November yang mengemukakan beberapa alasan terkait memilih Maxsi Nelson Ahoren.
“Setelah surat itu masuk, tidak ada komunikasi dari pihak gubernur, kesbangpol atau pun biro hukum kepada MRP untuk menanggapi surat MRP yang ditujukan kepada gubernur. Tiba-tiba munculah surat gubernur terkait pemberhantian Maxsi Nelson Ahoren,”terang dia.
Padahal substansi dari surat pemberhentian yang dikeluarkan oleh Biro Hukum Pemrpov Papua Barat itu sama seperti surat pertama Gubernur Papua Barat. Dimana isinya pertama, menyatakan bahwa MRP tidak mentaati Perdasus Nomor 6 tahun 2012 ayat 2. Kedua, MRP menyalahi ketentuan.
“Nah kalau kita bicara tentang ketaatan dan kesungguhan menjalankan produk legislasi daerah seperti Perda atau Perdasus serta Perdasi. Dan keputusan Gubernur itu banyak yang tidak taat kepada peraturan itu sendiri,” ucap Solichin.
Dicontohkannya, pertama, tentang kasus pelaksanaan kentuan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 6 tahun 2012 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRPB pasal 12 ayat 2, yang menyatakan bahwa Raperdasus yang tidak memperoleh persetujuan dari MRPB tidak dapat ditetapkan menjadi Perdasus.
“Itu kesalahan Gubernur dan DPR, kalau bicara menyangkut ketaatan. Perdasus ini kan tidak boleh ditetapkan dan tidak boleh diundangkan, karena tidak mendapatkan persetujuan. Pertanyaannya, kenapa ditetapkan? Artinya bahwa jauh sebelum proses dilakukan ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Gubernur melalui Biro Hukum,”tegasnya.
Kemudian, lanjut kata Solichin, menyangkut masa jabatan Anggota DPR mekanisme pengangkatan, dia mengemukakan, Gubernur telah melanggar Perdasus Nomor 4 tahun 2019 pasal 3 ayat 3 dan pasal 36 terkait massa jabatan DPR mekanisme pengangkatan berakhir bersamaan dengan DPR jalur politik.
“Jadi kalau bicara siapa taat dan tidak taat terhadap produk hukum daerah, gubernur yang tidak taat. Hal itu yang harus dipahami biro hukum,”tuturnya.
Maka menurutnya, ketidak taatan Gubernur, harus dibijaksanai oleh MRP dengan memperbolehkan Raperdasus yang tidak memiliki persetujuan dari MRP untuk diundangkan, karena MRP mempertimbangkan kepentingan orang banyak.
“MRP mempertimbangan supaya jangan lagi ada masalah, supaya raperdasus itu cepat ditetapkkan dan diundangkan agar memberikan manfaat dan memiliki daya guna untuk orang asli Papua,”tuturnya.
Dalam pandangan MRP bahwa, ungkap Solichin, produk hukum apapun tidak bisa diterapkan secara polos, sebab hukum tidak bisa diterapkan dalam ruang hampa. Tetapi harus mempertimbangkan situasi politik dan sosial di wilayah hukum tersebut.
“Jadi dua pelanggaran itu MRP membijaksanai, sehingga menurutnya MRP sangat tidak adil ketika MRP menggunakan ketentuan pasal 1 huruf g pada UU 21 tahun 2001 dengan menunjuk Maxsi Nelson Ahoren menjadi anggota Pansel,”sebut dia.
Oleh sebab itu, dia menyarankan kepada Biro Hukum agar dapat memberikan pertimbangan yang sehat dan bijaksana sebelum keluarkan SK Gubernur terkait pemberhentian Maxsi Nelson Ahoren.
Pertimbangan yang dimaksud adalah meminta Gubernur untuk mengundang MRP termasuk DPR untuk membicarakan status Maxsi Nelson Ahoren. Sebab MRP telah menanggapi surat Gubernur dan harus ditanggapi juga secara tertulis atau ditanggapi secara dialogis.
“Tapi setelah surat tanggapan MRP masuk, bukan komunikasi yang dibangun, tetapi tiba-tiba mengeluarkan surat pemberhentian, padahal MRP ini sederajat dengan Gubernur dan MRP tidak bisa dipandang bawahan Gubernur,”ujarnya.
Namun yang harus diperhatikan bahwa, Gubernur melantikan MRP atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia, karena Gubenur merupakan perpanjangan eksekutif.
“Jadi bukan berarti karena gubernur, kemudian biro hukum atau gubernur atau siapa pun mau mengatakan bahwa gubernur lebih tinggi MRP. Ini yang menurut saya, beberapa pejabat itu keliru memahami hal itu,”katanya lagi.
Jelas Solichin, untuk subtansi surat pertama dan SK, itu menyangkut etika komunikasi antara sesama anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopinda).
“Maka kalau sesama Forkpimda berarti setara dalam artian tidak ada yang dibawa tidak ada yang diatas. Nah kalau setara, berarti harus ada proses dialogis atau proses penanggapan surat MRP itu harus dibicara dengan baik. Kemudian munculah SK gubernur? Itu sangat menyalahi etika komunikasi,”tandasnya. (ONE/ON)
error: Hati-hati Salin Tanpa Izin kena UU No.28 Tahun 2014 Tentang HAK CIPTA dan/atau UU RI No.19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)