Orideknews.com, MANOKWARI, – Plt. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Papua, Dr. Sepus M. Fatem, S.Hut.,M.Sc membantah pemberitaan media online Jurnalpapua.id dengan judul berita, ‘Disuruh Cari Kampus Lain, 28 Mahasiswa Kedokteran Unipa di DO’.
Menurut Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Papua ini, media yang beralamat di Sorong tersebut telah melakukan pembohongan publik, sebab surat yang disajikan dalam berita adalah surat lama yang belum direvisi.
“Itu merupakan pembohongan sebuah publik karena tidak seperti yang ditulis dimedia tersebut, yang pertama prosedur evaluasi keberhasilan studi ditiap fakultas di Unipa mengacu pada peraturan akademik dan peraturan akademik adalah buku sucinya kegiatan akademik di Unipa,” beber Fatem.
Dalam pasal 43 peraturan akademik dijelaskan evaluasi studi seorang mahasiswa dikatakan tidak berhasil apabila salah satunya adalah tidak aktif lebih dari 2 semester atau berturut-turut memiliki IPK dibawah 2,00.
“Khusus di fakultas kedokteran kita lakukan evaluasi kemudian ada SK dekan yang disampaikan ke rektor untuk disampaikan bersama fakultas lain. Jadi mekanisme evaluasi tidak hanya di fakultas kedokteran tapi 12 fakultas yang ada di universitas Papua,” jelas Fatem.
Di fakultas Kedokteran maupun fakultas lain di Unipa, terang Fatem, ada mekanisme surat peringatan pertama dan surat peringatan kedua, itu biasa diberikan kepada mahasiswa pada semester awal. Oleh karena itu, apa yang ditulis oleh media Jurnalpapua, bagi pihaknya, terlalu rendah dan merendahkan harkat dan martabat pers karena harus memiliki data yang valid.
“Jumlah 28 mahasiswa yang awalnya di SK kan oleh FK Unipa, pimpinan setelah itu ada pertemuan antara para mahasiswa orang tuanya dengan kami pimpinan pada tanggal 16 Agustus 2021 jam 3 sore di kampus kedokteran. Dan kita sudah menjelaskan semua yang terkait dengan prosedur, peraturan akademik oleh karena itu, hasil pertemuan itu adik-adik mahasiswa angkatan 2019 ada 11 orang ditambah dengan 2018 2 orang, jadi bukan 28 yang disarankan pindah tetapi ada 13,” tegas Fatem.
Menurutnya, para mahasiswa disarankan dipindah karena ada yang sama sekali memang tidak aktif, kemudia ada yang memiliki IPK dibawah 2,00. Sehingga harus disarankan pindah, mempertimbangkan durasi waktu kuliah. Karena saat ini, Kementerian sementara memberlakukan peraturan Menteri Pendidikan No. 59 tahun 2018 tentang pemberlakuan penggunaan penomoran ijazah nasional dan sistem verifikasi ijazah secara elektronik.
“Artinya kalau mereka tetap di FK sementara harus mengulangi sejumlah mata kuliah, kemudian indeks prestasinya mengalami tren perubahan kemudian mereka dibatasi dengan waktu, ujung-ujungnya mereka tidak dinyatakan tidak berhasil tidak punya ijazah dan sebagainya. sehingga mekanisme itu, tidak hanya di fakultas kedokteran tetapi fakultas yang lain juga, kita sarankan pindah karena pertimbangan sejumlah hal,” tutur Fatem.
Dia menjelaskan bahwa, Fakultas kedokteran itu adalah salah satu bidang yang body of knowledge atau badan ilmunya adalah rigid sehingga, persoalan nilai tidak bisa tawar-menawar seperti bidang yang lain. Kedokteran itu, sebut Fatem layanannya adalah manusia, ketika diagnosis atau resep dokter atau arahan kesehatannya keliru kemudian manusia atau pasien itu mati, karena saat kuliah mereka tidak menguasai teori itu adalah sesuatu yang sangat fatal dan berisiko hukum.
“Persoalan nilai tidak bisa tawar-menawar oleh karena itu, kami sudah menyarankan mereka pindah sehingga pada pertemuan 16 Agustus 2021 semua adik-adik keluarga dengan santun dengan rasa hormat, mengakui dan menerima bahwa mereka harus pindah dan kita sudah fasilitasi mereka surat keterangan dan surat lain untuk mereka pindah,” terangnya.
Terkait dengan penyajian berita jurnalpapua, yang didalamnya ada surat, tegas Fatem, itu adalah surat peringatan kepada mahasiswa. Dan justru surat itu sudah direvisi lagi redaksinya, pada 18 Agustus 2021. Sehingga surat itu tertanggal 30 Juli 2021 itu tidaklah valid.
Sementara itu, pihak jurnalpapua.id melalui Tantowi Djauhari yang dikonfrimasi media ini, Rabu, (25/8/21) menyatakan, 3 point terkait bantahan Plt. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Papua, Dr. Sepus M. Fatem, S.Hut.,M.Sc. Pertama kata Tantowi, sebagai seorang intelektual akademisi, statemen Plt Dekan menunjukkan, dia belum sampai pada kapasitas memahami UU 40/1999 tentang pers, karena dengan pernyataan itu, artinya sebagai dekan, tidak paham dengan cara kerja jurnalistik dan produk jurnalistik yang dihasilkan.
Kedua, pernyataan bahwa berita yang dimuat di jurnal Papua itu sebagai kebohongan publik, adalah upaya dia menutupi kekurangan diri dengan cara mencela produk jurnalistik. Sebagai seorang pejabat publik, seharusnya Plt. Dekan paham dengan pola kerja jurnalistik, dengan membuka ruang ketika ada wartawan mengonfrimasi terkait sebuah pemberitaan. Bukan justru menghindar dengan seolah-olah menyibukkan diri. Karena tujuan dari konfirmasi itu adalah mencari informasi yang sebenarnya seperti apa, sehingga berita itu berimbang.
“Apa yang salah dengan kebijakan Universitas menDO mahasiswanya yang memang tidak qualified? Itu adalah hal yang biasa saja terjadi. Apakah ini sebuah aib FK Unipa yang harus ditutup-tutupi, sehingga pejabat-pejabat FK UNIPA (Kaprodi, dan dekan) tidak mau berbicara menjelaskan kepada wartawan? Jangan kemudian menyalahkan wartawan yang akhirnya mempublikasikan berita tersebut dengan tanpa konfirmasi yang jelas dari pihak kampus, dalam hal ini FK UNIPA, karena itu terjadi akibat sikap tidak kooperatif dari nara sumber. Saya sangat menyayangkan sikap-sikap seperti itu, karena kalangan akademisi seharusnya menjadi garda terdepan dalam keterbukaan informasi publik,” tegas Tantowi.
Dia menilai, tidak perlu juga pihak kampus, dalam hal ini dari pejabat FK UNIPA mengadu atau menyuruh orang lain untuk menghubunginya untuk melontarkan kata-kata makian yang sungguh tidak pantas keluar dari mulut kalangan terdidik, karena kalimat makian itu hanya pantas diucapkan orang-oran jalanan yang tak pernah mengenyam pendidikan.
“Apa yang salah dengan upaya konfirmasi yang kami lakukan, sehingga harus ada orang yang marah-marah dan memaki, hanya karena kamu menghubungi seorang dekan dan kaprodi? Wartawan itu bebas mau menghubungi narasumber siapa saja untuk bertanya, apapun jabatannya, bupati/walikota, gubernur, menteri bahkan presiden. Apalagi kalau hanya seorang dekan dan kaprodi. Jadi tidak perlu mencitrakan sebagai pejabat yang eksklusif yang tidak bisa sembarangan ditelpon oleh jurnalis. Karena menghalangi kerja-kerja jurnalis adalah tindakan pidana,” jelasnya lagi.
Ketiga, tambah Tantaowi, Jika dekan saat itu membuka ruang konfirmasi, tentunya akan terpublikasi berita-berita yang berimbang, apa sebenarnya yang terjadi, berapa jumlah mahasiswa yang di DO? Karena dari data yang pihaknya dapatkan, ada 28 nama mahasiswa-mahasiswi yang dinyatakan tidak berhasil oleh pihak kampus. Dan dengan membuka ruang konfirmasi, informasi menjadi jelas bahwa surat tertangga 30 Juli 2021 yang isinya dinilai membingungkan itu apakah surat peringatan atau surat ‘pemecatan’ mahasiswa sdh direvisi.
“Saran saya, sebagai pejabat publik, jadilah pejabat yang tidak alergi terhadap wartawan, dengan cara membuka ruang ketika mau dikonfirmasi. Konfirmasi tidak harus bertemu, tatap muka. karena itu, tergantung pada situasi dan kondisi. Penjelasan dari narasumber sangat lazim disampaikan melalui telepon,” tambah Tantowi. (ALW/ON)

